• Sumber gambar :    RAKYATNTT. COM

#Gafur Abdullah

Beberapa waktu lalu, saya ditanya guru sewaktu Madrasah Aliyah. Bukan hanya satu guru dan tentunya bukan hanya satu pertanyaan yang diluncurkan ke arah saya.  Ragam bentuk redaksi yang diajukan, namun intinya mengarah pada stigma negatif seorang Jurnalis. Semisal, berapa kepala desa  yang sudah dibajak? Mendengar pertanyaan itu, saya terperangah kaget namun  tak lupa mengunyah pertanyaan itu dengan pelan tapi pasti untuk kemudian menghasilkan jawaban yang halus. Agar tidak salah paham, saya hanya menjawab dengan jawaban-Jurnalis atau Wartawan itu bertugas menyampaikan informasi dan guna mendidik masyarakat-bijak versi saya disertai senyum takdzim. 

Saya memaklumi pertanyaan itu. Apa sebab? Mungkin mereka hanya melihat sisi buruk Jurnalis yang kerap muncul di warung kopi atau tempat tongkrongan. Di mana bagi mereka yang tidak paham akan peran dan dampak positif yang dicipta sebab pemberitaan yang notabene hasil olahan dari kerja keras seorang Wartawan, hanya mengira wartawan itu menelanjangi kehidupan orang lain. Semisal pejabat korupsi, manusia yang berprofesi sebagai pencuri, pengelola lembaga kemasyarakatan yang tidak amanah, sampai oknum kiai yang ditemukan melakukan pencabulan pada santrinya dan berita lainnya.

Padahal, jika kita memahami secara bijaksana, masyarakat akan sangat berterima kasih kepada media yang di dalamnya tidak lepas dari campur tangan Jurnalis yang telah menginformasikan suatu kejahatan bahkan peristiwa di sekitar kita. Baik di instansi maupun di jalanan. Bisa saja, mereka lupa bahwa beberapa perubahan di dunia ini ada campur tangan Jurnalis. Contoh yang tertulis dalam lembaran sejarah misalnya, seperti informasi kemerdekaan Republik Indonesia ini. 

Terlepas dari itu, setidaknya masyarakat bisa memahami 13 peran media atau pers dalam kehidupan masyarakat. Hal ini sebagaimana tertulis di laman pakarkomunikasi.com.

Sebagai Agen Pembaharu. Dalam konteks ini, Jurnalis, melalui informasi yang disampaikan kepada publik bisa merangsang, memengaruhi, dan mampu merubah perilaku masyarakat. Tentunya hal itu dalam ranah positif, semisal menggerakkan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan, melakukan kebaikan untuk kebermanfaatan, hingga menjalankan norma-norma sosial. Hal itu yang kemudian bisa dijadikan alasan bahwa jurnalistik atau pers memiliki peran sebagai agen pembaharu dalam kehidupan. 

Pemberi Hiburan. Diakui atau tidak, Jurnalis melalui medianya dapat memberikan hiburan kepada masyarakat. Sisi ini bisa dilihat pada media yang dalam tiap edisi atau edisi tertentu menyajikan cerita pendek,  cerita bersambung, kartun yang lucu, karikatur, atau juga puisi-puisi. Beberapa karya tersebut bisa membuat pembaca terhibur bahkan menyunggingkan senyum.

Alat Kontrol Sosial. Pers atau jurnalistik memiliki peran sebagai alat kontrol sosial dengan cara menyampaikan gagasan atau pendapat yang erat kaintannya dengan kepentingan masyarakat luas. Hal ini memperkuat alasan bahwa jurnalistik atau pers tidak melulu menyajikan informasi yang berisi peristiwa saja. Sebagai alat kontrol, tentu jurnalistik memiliki tanggungjawab untuk mengingatkan pemerintah jika menemukan kebjikan yang menabrak keadilan dan kepentingan masyarakat. 

Pendidik Masyarakat. Dalam kontkes ini, jurnalistik harus mampu mendidik masyarakat melalui informasi yang disajikan. Tujuannya sederhana, yakni untuk meningkatkan nilai kehidupan bagi pembacanya atau masyarakat luas. Caranya pun sederhana, jurnalis dapat menciptakan karya-karya yang bersifat mencerahkan dan menambah wawasan baru. Sehingga masyarakat memperoleh pengertian serta pemahaman baru mengenai kehidupan yang lebih maju usai membacanya. 

Pemberi Informasi. Sisi ini bisa dikatakan sebagai peran substansial. Karena sejatinya pers memang bertugas menyajikan informasi kepada publik.  Ragam karya jurnalistik yang berupa berita, feature, reportase dan hal edukatif lainnya diharapkan ada oleh pembaca media tersebut. Namun perlu disadari bahwa,  selain berita, masyarakat juga membutuhkan gagasan, ide, pendapat atau pemikiran yang layak dipublikasikan.  

Memperluas Cakrawala Pemikiran. Pelbagai informasi yang dituang dalam karya jurnalistik harus mampu merangsang proses pengambilan keputusan. Karena disadari atau tidak, jurnalistik atau pers dapat membangun opini publik melalui pemberitaan yang disajikan. 

Memusatkan Perhatian. Karya-karya jurnalistik yang disajikan kepada publik berupa informasi yang berkaitan dengan sesuatu yang dibahas secara spesifik. Dengan begitu, akan dapat mengarahkan dan membuat pembaca memusatkan perhatiannya terhadap informasi tersebut.

Menumbuhkan Aspirasi. Dengan informasi yang disampaikan, Jurnalis dapat menstimulus pembaca untuk memunculkan aspirasi baru terhadap informasi yang dibaca. Dalam hal ini, masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya melalui forum diskusi walaupun sebatas di warung kopi bahkan bisa menuliskannya dan disampaikan melaui media yang tersedia. 

Menciptakan Suasana Membangun. Peran jurnalistik cukup besar dalam perubahan social yang berlangsung dalam masyarakat. Dengan berbagai informasi serta gagasan pembangunan yang disajikannya, jurnalistik mampu memengaruhi masyarakat untuk tergerak dan terlibat dalam pembangunan dari berbagai bidang.

Sebagai Jembatan. Peran ini jelas bahwa jurnalis melaui jurnalistiknya dapat menjadi jembatan antara dua pulau. Katakanlah antar masyarakat dan pemerintah. Pun sebaliknya. Sebut saja masyarakat mampu menyampaikan aspirasi kepada pemerintah dengan bantuan jurnalis. Sebaliknya, pemerintah dapat menyampaikan kebjikan melalui jurnalistik. 

Mengenalkan Norma-norma Sosial. Salah satu peran penting jurnalistik adalah membantu pembangunan di bidang hukum dan menginformasikan mengenai bagaimana menghindari tindak kriminalitas, serta tentang hak dan kewajiban seseorang di depan hukum. Begitu juga dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.

Menumbuhkan Selera. Dari ragam informasi yang disampaikan melalui jurnalistik, dengan sendirinya masyarakat sekan terhipnotis dengan informasi tertentu. Fase ini dapat juga menjadikan masyarakat membuat opini tersendiri terhadap isu-isu  dan produk tertentu yang disajikan dalam media yang dibaca. 

Mampu Merubah Sikap Lemah Menjadi Lebih Kuat. Jurnalistik memiliki kekuatan untuk dapat memengaruhi dan merubah perilaku bahkan dapat menggerakkan masyarakat. Hal ini  sama juga dapat dilakukan jurnaslitik terhadap sikap seseorang dalam masyarakat. Jurnalistik dapat merubah sikap yang lemah menjadi kuat  dengan menyajikan berbagai informasi dan edukasi mengenai perbaikan sikap dan mental pembaca. 

Tiga belas peran di atas dapat dikatakan sebagai deterjen Jurnalis atau Wartawan  untuk mencuci baju kotornya dalam anggapan masyarakat yang melihat dengan kacamata gelap atau sebelah mata.  

Memahami Elemen Jurnalisme

Selain itu, ada sejumlah prinsip dalam jurnalisme, yang sepatutnya menjadi pegangan setiap jurnalis. Prinsip-prinsip ini telah melalui masa pasang dan surut. Namun, dalam perjalanan waktu, terbukti prinsip-prinsip itu tetap bertahan. Sembilan elemen itu bisa juga dijadikan deterjen tambahan dan sifatnya harus untuk digunakan.

Sembilan elemen jurnalisme tersebut diracik oleh dua Jurnalis sekaligus sebagai guru Jurnalistik di Harvard University  yakni Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001). Dalam bukunya The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Crown Publishers), merumuskan prinsip-prinsip itu dalam Sembilan Elemen Jurnalisme, sebagaimana dikutip oleh Andreas Harsono dalam buku 'Agama Saya Adalah Jurnalisme'. Kesembilan elemen tersebut adalah:

Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Kewajiban para jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk “kebenaran jurnalistik” yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional.

Ini bukan kebenaran mutlak atau filosofis. Tetapi, merupakan suatu proses menyortir (sorting-out) yang berkembang antara cerita awal, dan interaksi antara publik, sumber berita (news makers), dan jurnalis dalam waktu tertentu. Prinsip pertama jurnalisme—pengejaran kebenaran, yang tanpa dilandasi kepentingan tertentu (disinterested pursuit of truth)—adalah yang paling membedakannya dari bentuk komunikasi lain.

Contoh kebenaran fungsional, misalnya, polisi menangkap tersangka koruptor berdasarkan fakta yang diperoleh. Lalu kejaksaan membuat tuntutan dan tersangka itu diadili. Sesudah proses pengadilan, hakim memvonis, tersangka itu bersalah atau tidak-bersalah.

Apakah si tersangka yang divonis itu mutlak bersalah atau mutlak tidak-bersalah? Kita memang tak bisa mencapai suatu kebenaran mutlak. Tetapi masyarakat kita, dalam konteks sosial yang ada, menerima proses pengadilan –serta vonis bersalah atau tidak-bersalah– tersebut, karena memang hal itu diperlukan dan bisa dipraktikkan. Jurnalisme juga bekerja seperti itu.

Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens). Organisasi pemberitaan dituntut melayani berbagai kepentingan konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain. Semua itu harus dipertimbangkan oleh organisasi pemberitaan yang sukses. Namun, kesetiaan pertama harus diberikan kepada warga (citizens). Ini adalah implikasi dari perjanjian dengan publik.

Komitmen kepada warga bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan pada warga ini adalah makna dari independensi jurnalistik. Independensi adalah bebas dari semua kewajiban, kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik.

Jadi, jurnalis yang mengumpulkan berita tidak sama dengan karyawan perusahaan biasa, yang harus mendahulukan kepentingan majikannya. Jurnalis memiliki kewajiban sosial, yang dapat mengalahkan kepentingan langsung majikannya pada waktu-waktu tertentu, dan kewajiban ini justru adalah sumber keberhasilan finansial majikan mereka.

Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni, adalah disiplin verifikasi. Hiburan –dan saudara sepupunya “infotainment”—berfokus pada apa yang paling bisa memancing perhatian. Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa fakta, demi tujuan sebenarnya, yaitu persuasi dan manipulasi. Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada apa yang terjadi, seperti apa adanya.

Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak. Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan apa yang sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita.

Ada sejumlah prinsip intelektual dalam ilmu peliputan: 1) Jangan menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada; 2) Jangan mengecoh audiens; 3) Bersikaplah transparan sedapat mungkin tentang motif dan metode Anda; 4) Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri; 5) Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu.

Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput. Jurnalis harus tetap independen dari faksi-faksi. Independensi semangat dan pikiran harus dijaga wartawan yang bekerja di ranah opini, kritik, dan komentar. Jadi, yang harus lebih dipentingkan adalah independensi, bukan netralitas. Jurnalis yang menulis tajuk rencana atau opini, tidak bersikap netral. Namun, ia harus independen, dan kredibilitasnya terletak pada dedikasinya pada akurasi, verifikasi, kepentingan publik yang lebih besar, dan hasrat untuk memberi informasi.

Adalah penting untuk menjaga semacam jarak personal, agar jurnalis dapat melihat segala sesuatu dengan jelas dan membuat penilaian independen. Sekarang ada kecenderungan media untuk menerapkan ketentuan “jarak” yang lebih ketat pada jurnalisnya. Misalnya, mereka tidak boleh menjadi pengurus parpol atau konsultan politik politisi tertentu.

Independensi dari faksi bukan berarti membantah adanya pengaruh pengalaman atau latar belakang si jurnalis, seperti dari segi ras, agama, ideologi, pendidikan, status sosial-ekonomi, dan gender. Namun, pengaruh itu tidak boleh menjadi nomor satu. Peran sebagai jurnalislah yang harus didahulukan.

Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Wartawan tak sekedar memantau pemerintahan, tetapi semua lembaga kuat di masyarakat. Pers percaya dapat mengawasi dan mendorong para pemimpin agar mereka tidak melakukan hal-hal buruk, yaitu hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan sebagai pejabat publik atau pihak yang menangani urusan publik. Jurnalis juga mengangkat suara pihak-pihak yang lemah, yang tak mampu bersuara sendiri.

Prinsip pemantauan ini sering disalahpahami, bahkan oleh kalangan jurnalis sendiri, dengan mengartikannya sebagai “mengganggu pihak yang menikmati kenyamanan.” Prinsip pemantauan juga terancam oleh praktik penerapan yang berlebihan, atau “pengawasan” yang lebih bertujuan untuk memuaskan hasrat audiens pada sensasi, ketimbang untuk benar-benar melayani kepentingan umum.

Namun, yang mungkin lebih berbahaya, adalah ancaman dari jenis baru konglomerasi korporasi, yang secara efektif mungkin menghancurkan independensi, yang mutlak dibutuhkan oleh pers untuk mewujudkan peran pemantauan mereka.

Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik. Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan forum di mana publik diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting, sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap.

Maka, jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik dan kompromi publik. Demokrasi pada akhirnya dibentuk atas kompromi. Forum ini dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang sama sebagaimana halnya dalam jurnalisme, yaitu: kejujuran, fakta, dan verifikasi. Forum yang tidak berlandaskan pada fakta akan gagal memberi informasi pada publik.

Sebuah perdebatan yang melibatkan prasangka dan dugaan semata hanya akan mengipas kemarahan dan emosi warga. Perdebatan yang hanya mengangkat sisi-sisi ekstrem dari opini yang berkembang, tidaklah melayani publik tetapi sebaliknya justru mengabaikan publik. Yang tak kalah penting, forum ini harus mencakup seluruh bagian dari komunitas, bukan kalangan ekonomi kuat saja atau bagian demografis yang menarik sebagai sasaran iklan.

Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan. Tugas jurnalis adalah menemukan cara untuk membuat hal-hal yang penting menjadi menarik dan relevan untuk dibaca, didengar atau ditonton. Untuk setiap naskah berita, jurnalis harus menemukan campuran yang tepat antara yang kurang serius dan yang kurang-serius, dalam pemberitaan hari mana pun.

Singkatnya, jurnalis harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu menyediakan informasi yang dibutuhkan orang untuk memahami dunia, dan membuatnya bermakna, relevan, dan memikat. Dalam hal ini, terkadang ada godaan ke arah infotainment dan sensasionalisne.

Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional. Jurnalisme itu seperti pembuatan peta modern. Ia menciptakan peta navigasi bagi warga untuk berlayar di dalam masyarakat. Maka jurnalis juga harus menjadikan berita yang dibuatnya proporsional dan komprehensif.

Dengan mengumpamakan jurnalisme sebagai pembuatan peta, kita melihat bahwa proporsi dan komprehensivitas adalah kunci akurasi. Kita juga terbantu dalam memahami lebih baik ide keanekaragaman dalam berita.

Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka. Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika dan tanggung jawab personal, atau sebuah panduan moral. Terlebih lagi, mereka punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa.

Agar hal ini bisa terwujud, keterbukaan redaksi adalah hal yang penting untuk memenuhi semua prinsip jurnalistik. Gampangnya mereka yang bekerja di organisasi berita harus mengakui adanya kewajiban pribadi untuk bersikap beda atau menentang redaktur, pemilik, pengiklan, dan bahkan warga serta otoritas mapan, jika keadilan (fairness) dan akurasi mengharuskan mereka berbuat begitu.

Dalam kaitan itu, pemilik media juga dituntut untuk melakukan hal yang sama. Organisasi pemberitaan, bahkan terlebih lagi dunia media yang terkonglomerasi dewasa ini, atau perusahaan induk mereka, perlu membangun budaya yang memupuk tanggung jawab individual. Para manajer juga harus bersedia mendengarkan, bukan cuma mengelola problem dan keprihatinan para jurnalisnya.

Dalam perkembangan berikutnya, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menambahkan elemen ke-10. Yaitu:

Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita. Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet. Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan media sendiri. Ini terlihat dari munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism), jurnalisme komunitas (community journalism) dan media alternatif. Warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan sebagainya, dan dengan demikian juga mendorong perkembangan jurnalisme.

Kesepuluh elemen tersebut tentu bisa dijadikan pula sebagai perekat idealisme dalam diri  Jurnalis atau Wartawan. Dalam hal ini, saya sebagai pegiat Jurnalistik di Madura dapat mengedukasi masyarakat Madura melalui dunia pemberitaan.

Ide tulisan di atas berangkat dari keresahan penulis sejauh ini ketika mendengar stigma negatif terhadap Wartawan atau Jurnalis yang dilebelkan oknum masyarakat yang cuti berpikir bijak. Selebihnya, saya siap untuk terjun ke lapangan guna mengaktualisasikan ragam teori jurnalistik di lapangan dan siap untuk dibimbing oleh Jurnalis yang lebih senior daripada saya, baik secara usia maupun lebih matang dalam hal keilmuan.


*Wartawan Media Jatim dan freelance Wriiter diberbagai blog dan website. 

#tulisan ini pernah dimuat di harian kabar Madura