Tumpukan sampah menggunung di tempat pembuangan akhir (TPA)  Angsanah  Pamekasan, Sabtu (3/10/2020) siang.  Sekelompok warga terlihat sedang duduk dengan kedua tangannya  bergerak memilah  sampah. Beberapa plastik kresek berisi sisa nasi sisa  sayuran diletakkan di belakang mereka. Tumpukan  beberapa karung  berisi  botol  bekas tergeletak di sebelah  plastik kresek berwarna hitam. Sebundel kardus bekas diikat  tali  rapia lusuh  menumpuk dengan  posisi  di sebelah karung tadi.  


Moh. Hasib  menenteng  kresek hitam  dan merah.  Kresek merah di sebelah tangan kanannya berisi  sisa makanan berupa nasi. Tangan  kirinya menenteng  kresek warna hitam berisi sisa  sayuran berupa  timun,  bayam, gubis  dan sisa sayuran lainnya.  


"Ènghi, gulâ makèmpo' rèkarèna nasè', karèna yur  sayur, bhutol bâddhâna aèng bân samacemma. (Ya saya mengumpulkan sisa nasi,  sisa sayuran, botol  bekas dan semacamnya)," tutur  Moh. Hasib,  pria  paruh baya  sembari  menunjukkan kresek  di kedua tangannya.  


Dia salah satu  warga Desa Angsanah, Palengaan, Pamekasan yang  setiap  hari  datang  ke TPA Angsanah. Hasib, sapaan akrabnya, memungut  sampah berupa sisa makanan, kardus bekas,  botol  bekas  dan sampah lain yang menurutnya masih  bisa dimanfaatkan. Sudah hampir  sepuluh  tahunan  dia melakukannya. 


Sisa nasi dan  sisa  sayuran dipungut  oleh  Hasib  untuk diberikan pada sapi ternaknya. Sedang  botol bekas, kardus  bekas  dan yang  bisa didaur  ulang  lainnya  dia jual  ke pengepul di Desa  Nyalabu,  desa sebelah  yang  lokasinya  tidak jauh  dari  rumahnya.  Di dalam keluarga kecilnya, Hasib  bersama  isrtrinya menjadikan TPA  sebagai salah satu  tempat  untuk mengais manfaat, lebih-lebih  secara  ekonomi. 


Menurutnya, tumpukan sampah itu memang  secara  kasatmata  terkesan kotor bahkan  menjijikkan. Meskipun demikian, kata Hasib,   tumpukan sampah itu justru  bisa dimanfaatkan.  


"Saya bersyukur, punya  rumah  dekat  TPA  itu juga  bisa  jadi mudah  dapat uang  meski  tak seberapa. Kalau  hanya  memikirkan  jijiknya,  ya,  tak mungkin saya ada di sini. Tapi  jika bisa dapat  uang  dan tak nenyalahi  aturan  Tuhan  dan tak  bikin  orang lain rugi,  kenapa  harus  jijik?" kata  pria  berumur 60 tahun  itu. 


Jam di ponsel saya tertulis  angka  11:20 Wib.  Lalat terbang  bersliweran  di atas tumpukan sampah. Hasib  meletakkan kresek yang dipegangnya ke tempat  tumpukan sampah yang  dia kumpulkan  sejak  pagi.  Dia mengangkat  sebundel  kardus ke atas  jok  motornya. Diikatnya bundelan  kardus  bekas lalu  dia meletakkan kresek berwarna hitam dan merah  di atas kardus  bekas  itu. 


"Soal jumlah  dalam bentuk  kiloan,  saya gak bisa ngira,  Pak.  Tapi  hitungan jumlah  yang  ditaruh di kresek,  kadang  dua kresek  plastik  satu  hari.  Gak nentu pokonya," tuturnya.


Dia bilang, setiap pagi dan sore ke TPA untuk memungut  sampah yang menurutnya masih  bisa dimanfaatkan. Pagi  dari pukul  delapan sampai  sebelas beberapa menit. Sorenya  dari  sehabis  zuhur  menjelang ashar.  


Dalam sebulan, Hasib bisa mendapatkan uang sebesar  delapanratus ribu  dari  hasil menjual  barang bekas. Bagi Hasib, jumlah  itu  lumayan  dapat  memenuhi  kebutuhan rumah tangganya. 


"Dari pada tidak  dapat, Pak. 800 ribu  bagi  masyarakat kecil  seperti  saya sudah  besar. Alhamdulillah, bisa jadi  tambahan buat beli  kebutuhan  dapur. Saya gak  sendiri,  biasanya  saya  sama istri.  Tapi  hari  ini sedang  tidak enak  badan saja," katanya.  


Dia mengaku, sudah  empat  tahun  melakukan pemungutan sampah  di TPA Angsanah Pamekasan ini.  Adanya  TPA  di sana, kata Hasib, membawa  keberuntungan tersendiri bagi  dia dan warga sekitar lainnya.  Karena  bisa  jadi  tempat untuk mendapatkan uang dari  penjualan sampah hasil pungutannya.  Kata Hasib, ada sekitar  45-50 orang  lebih  yang  tiap  hari  memungut sampah  di lokasi itu.  


Hasib  menyalakan  motornya.  Tangan  kanannya memegang gas motornya. Sedang  tangan  kirinya diulurkan ke belakang seraya memegang  karung  yang hanya  diikat dengan  satu  tali saja.  Pria  baju lusuh warna cokelat itu perlahan terus  menjauh menuju  pintu gerbang TPA lalu keluar dan hilang dari  pandangan. 


Muhammad Wardi, warga  lainnya yang juga memungut sampah di lokasi  tersebut terlihat  sedang  mengangkat karung  besar  berisi  botol  bekas  ke atas  motornya. Dia  bilang, hanya dua jam  melakukan pemungutan sampah  di TPA itu.  


"Sebentar  saja.  paling ya dari  pukul  sembilan ke pukul sepuluh. Saya kan juga  punya  usaha  lain.  Sambil  jadi  kuli,  tani dan rawat  ternak  tapi  sedikit  di rumah.  Kalau  mengandalkan dari  ini,  saya rasa  gak seberapa," ungkap  pria  berusia 40 tahun  itu.  


Dia bilang, sampah yang  dicari  tidak  jauh  beda  dengan  yang dilakukan Hasib.  Pemanfaatannya  pun  hampir sama.  Sisa  makanan untuk  pakan  ternak.  Sedang  barang bekas seperti  botol  dan kardus  bekas  dijual  kiloan.  


Berbeda  waktu  dalam pemungutan, beda penghasilan yang  didapatkan.  Wardi  mengaku,  mendapat uang  dari  hasil  menjual barang pungutannya paling  besar  enam ratus ribu  tiap  bulan. 


"Uangnya ya  saya gunakan  untuk uang  saku  bahkan  beli alat  sekolah  anak. Saya kan punya  anak sedang  sekolah, Pak," ujarnya. 


Perempuan paruh  baya  nampak  menutup kepalanya dengan  kardus  air  meneral bekas. Berjalan menuju tumpukan kresek warna hitam, kuning, belang-belang  hitam  putih dan beberapa karung besar.  Dialah Khotijah. 


Bersama suaminya, dia melakukan pemungutan sampah di lokasi yang sama dengan  Hasib dan Wardi. "Saya sudah  lama memungut sampah di sini,  Pak.  Ini sedikit demi  sedikit dikumpulkan lalu  dijual buat  beli garam  dan kebutuhan lainya nanti  di rumah," katanya sembari  menunjuk tumpukan  kresek miliknya.  


Barang bekas hasil  pungutannya, jelas Khotijah,  tidak dia jual  sendiri.  Suami dan ponakannya yang membawa ke pengepul.  Hasilnya pun  dia  tidak  menerima langsung. Karena  dia sudah  percayakan kepada suaminya.  


"Dikasih uang sama suami,  sebagian hasil dari  jualan  botol dan kardus itu, saya terima. Itupun  untuk kebutuhan dapur saja.  Saya ikut  kata suami  saja," tuturnya kepada Mongabay saat itu.  


Dampak apa yang akan terjadi  bila  ternak  diberi makan  dari  sisa makanan yang dipungut dari  tempat sampah semacam TPA? Moh Ihsan Zain,  Konsultan Peternakan yang merupakan alumnus  peternakan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengatakan, dari kacamata peternakan, ternak tidak boleh digembalakan maupun diberikan pakan dari tempat pembuangan akhir (TPA) karena berbagai alasan : Pertama, kesejahteraan hewan (animal welfare), sisa makanan yang ada di TPA tentunya sudah bercampur antara makanan yang segar dengan makanan yang mulai membusuk maupun sudah busuk.


"Hal tersebut dapat menyebabkan gangguan pada tubuh ternak khususnya sistem pencernaan ternak, sehingga dapat menyebabkan berbagai penyakit kronis pada ternak tersebut. Kedua,  potensi bercampurnya bahan organik dengan bahan anorganik, dari berbagai penelitian yang telah dilakukan pada sapi yang diternakkan di TPA, hasilnya organ ternak, darah, dan daging mengandung senyawa logam berat yaitu Pb (timbal), Hg (mercuri), Cd (cadnium)," jelasnya.  


Kata Ihsan,  begitu disapa, salah satu efek apabila manusia mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung logam berat dan turunannya adalah terdapat residu logam berat pada darah manusia yang dapat menyababkan berbagai penyakit kronis. Serta contoh, Hg bisa menyerang jaringan syaraf otak, terutama pada sistem pengiriman pesan, penyebab tremor dan kelumpuhan, dan keturunan cacat. Sedangkan Pb, dapat menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak.


Soal tempat sampah jadi sumber pendapatan yang  diperoleh dari barang-barang daur ulang, pria  yang  juga mengelola Bank Sampah Hamdalah  di Desa Pamoroh, Kadur, Pamekasan itu bilang, hal tersebut sangat berdampak positif bagi lingkungan. Karena dengan pemanfaatan daur ulang dapat mengurangi sampah dan jika dibiarkan di tanah yang tentu akan sangat lama bahkan tidak dapat didegradasi oleh tanah itu sendiri.


Menurutnya, pemerintah terkait, harusnya memberikan solusi soal sampah  di TPA.  semisal  daur ulang sampah yang ada di TPA Angsanah, Pamekasan dengan skala besar. Sehingga sampah yang ada tidak akan menggunung di TPA tersebut. 


"Padahal sangat banyak solusi untuk sedikitnya mengurangi volume sampah yang menggunung, salah satunya memberdayakan para pegiat peduli lingkungan untuk membantu pemerintah mengatasi masalah sampah tersebut atau studi komparatif terhadap TPA-TPA di Indonesia yang sudah baik dari segi manajemen pengolalaan sampahnya," ungkapnya. 


Tonis  Afrianto, Koordinator Program Zero Waste Cities ECOTON Surabaya mengatakan, sampah plastik dikurangi supaya tidak ada kontaminasi di sampah organiknya. Jadi sudah harus masyarakat mengurangi sampah plastik.


"Pemerintah juga ikut membantu dalam eh penegakan regulasi yang seperti membuat surat edaran pengurangan sampah plastik," ujar Tonis,  sapaannya kepada Mongabay, Sabtu (3/10/2020).


Itu yang pertama.  Kemudian yang kedua, katanya, adalah masyarakat sudah harus diimbau untuk memilah sampah sejak dari rumah.  Jadi nanti warga sekitar TPA bisa memaksimalkan pemanfaatan kalau masyarakatnya memilah sampah sejak dari rumah. Dengan demikian, maka nanti tidak ada yang terbuang ke TPA.


"Yang organik bisa diolah atau  diberikan ke tetangganya untuk dibikin pakan ternak atau dikumpulkan dalam satu wadah di TPS. Hal itu untuk menghindari ketercampuran  antara  organik dan non  organik," kata Tonis.  


Kemudian yang selanjutnya itu adalah membuat membuat regulasi dalam arti sekarang, sudah ada banyak regulasi yang dihasilkan pemerintah terkait pengurangan sampah plastik. Regulasi itu tentunya  banyak sisi positifnya. Jadi masyarakat bisa menekan pengurangan sampah plastik kemudian TPA juga tidak akan terlalu banyak sampah dan tidak tidak gampang penuh.  


"Peraturan ini seperti yang dicanangkan di Jakarta kemarin untuk pengurangan plastik sekali pakai," ujarnya.  


Melalui Tonis,  Ecoton secara  kelembagaan berpendapat bahwa setiap wilayah misalkan dari lingkup terkecil kelurahan atau desa itu sudah harus mempunyai TPS atau tempat pembuangan sementara.  


"Dan tentunya TPS itu bersifat tiga R ya artinya di situ sudah mengolah sampah gitu. Jadi sampah sejak didapatkan dari rumah itu dipilah di TPS tersebut tidak langsung masuk ke TPA. Kemudian setelah sampah itu dipilah diproses di TPS yang ada di kelurahan atau desa maka yang dibuang ke TPA hanya residu kayak gitu," ungkap Tonis. 


Jadi untuk sampah organik dan daur ulang itu, tegasnya,  bisa dimanfaatkan oleh petugas sampah di TPS masing-masing . Yang organik mungkin disuplay untuk pakan ternak yang non organik seperti sampah daur ulang itu bisa dijual. 


Oleh karena itu, cara demikian  sebenarnya dapat dipastikan  sampah  yang masuk ke TPA itu hanya sampah residu artinya sampah yang tidak mempunyai nilai jual dan tidak bisa dimanfaatkan lagi.


Menurutnya, sampah yang tercampur di TPA itu akan semakin menambah beban kapasitas dari TPA itu sendiri. 


"Misalkan kalau saya dari awal tadi ngomong kalau yang dibuang hanya sampai residu saja di TPA maka TPA itu akan bisa bertahan,  ya  hanya beberapa tahun saja.  Tapi kalau pada akhirnya TPA itu dibuangi oleh sampah semua jenis sampah termasuk organik maka pemerintah juga akan sulit. Tidak akan bertahan lama tempat itu untuk dijadikan TPA,"  Katanya kepada Mongabay, Sabtu (3/10/2020) via  Whatsapp. 


Semestinya, kata Tonis,  TPA itu juga harus mempunyai tempat spesifik atau tempat yang khusus jauh dari tempat umum  atau pemukiman masyarakat. Kemudian tidak boleh diletakkan di tempat-tempat pemukiman,  tidak boleh ditempatkan di dekat sungai atau pantai karena karena TPA itu adalah  pembuangan sampah. Tentunya juga ada penanganannya yang harus khusus. 



# tulisan  ini pernah  dimuat di Mongabay Indonesia https://www.mongabay.co.id/2020/10/14/warga-pilah-sampah-tpa-angsanah-untuk-pakan-ternak-dan-bahan-daur-ulang/

Keterangan foto : salah satu warga yang sedang memikul sampah  hasil  pungutannya.