Oleh: Gafur Abdullah*

Sepetak tana sangkolan milik Sadu siap digarap. Tana itu merupakan satu-satunya sangkolan dari mendiang eppa’ embu’na yang meninggal dalam peristiwa beberapa tahun silam. Matanya menyimpan kesaksian itu. Butuh waktu panjang untuk melupakan kejadian itu. Bahkan, seumur hidupnya ia tidak bisa dan tidak ingin melupakannya. 

Sesekali, Sadu berusaha untuk menghapus catatan tentang tubuh mereka yang dilahap apoi ketika rumahnya dibakar orang tak dikenal. Tapi, setiap nongkrong di warung kopi milik Suna, pikirannya kembali ke kejadian itu. Bukan karena ia melihat foto atau berita tentang dukanya di koran maupun televisi. Bukan pula warga yang nongkrong bercerita. Melainkan kursi yang ada di pojok warung itu menyimpan kisah eppa’na. Maklum, kursi yang ada di pojok itu menjadi tempat mendiang eppa’na duduk saat nongkrong di warung itu. Setiap matanya mengarahkan ke kursi itu, air matanya perlahan menetes. Sedang tempat cuci prabot milik Suna juga mengingatkan ia kepada mendiang embu’na. Memang semasih hidup, embu’na bekerja kepada Suna sebagai pencuci prabotan warung suna dengan satu kilo beras sebagai upah.

Sebagai anak tertua, Sadu harus bertanggungjawab akan keberlangsungan hidup adik-adiknya. Ia tiga bersaudara. Sementara, Musa, saudara laki-laki yang minggat dari rumahnya karena tidak dibelikan motor oleh orangtuanya tidak ada kabar. Tapi ia tetap mencari kabar tentang Musa. Sedang adik bungsunya terpaksa harus putus sekolah karena tidak sanggup membayar biaya pendidikan yang bertambah tahun semakin mahal. Entah apa maunya pemerintah sekarang. Biaya pendidikan semakin mahal. Padahal, pendidikan negeri ini tetap saja jauh dari kata maju. 

***

Sekalipun kondisinya melarat, Sadu memilih tinggal di desa Ragang dan  menggarap tana sangkolan itu dari pada merantau ke negeri Jiran seperti sebagian warga sekitar. Kadang ia tergiur berangkat ke Malaysia ketika diajak Muni, tekong yang masih tetangga sebelah. Namun ia urungkan niat untuk ke luar negeri karena biayanya yang cukup mahal. Jangankan untuk bekal ke Malaysia, makan sehari-hari saja susahnya minta ampun. 

Di balik ketergiurannya, ia menyelipkan rasa jengkel kepada Muni. Karena Muni seringkali menyarankan Sadu untuk menjual tana sangkolan itu. Begitulah jurus marketing yang Muni gunakan untuk menakklukkan calon pelangganya yang hidupnya sedang susah itu. 

“Sadu, kamu ini mau mengubah nasibnya apa tidak? Soal bekal pemberangkatan jangan ambil pusing, kan ada tana sangkolan eppa’ emmbu’na di bukit Paleyang. Tinggal kamu jual. Kalau kamu mau, biar aku carikan tetangga sini. Siapa tahu ada yang mau membelinya.” Bagi Sadu, saran itu masuk akal tapi tidak pada hatinya.

“Sampai kapanpu, butuh apapun, aku tidak akan menjual tana sangkolan itu,” mendegar jawaban Sadu, Muni menelan ludah dan mengisap sebatang rokok yang terselip di jamarinya. Muni tak bisa berkata apa-apa saat Sadu tetap pada pendiriannya. 

“Itu cuma satu-satunya sangkolan mereka yang sangat berharga. Apalagi, tana itu lama tidak digarap untuk menanam temabakau. Sekarang kan masuk kemarau, aku akan cari pinjaman uang untuk modal bertani tembakau musim ini.” Sadu mencoba menampakkan keenceran akalnya dan percaya bahwa tana itu bisa memberikan rezeki dengan menggarapnya. Sadu memang tidak berpendidikan tinggi, tapi soal kecerdasan dan pendirian hidup, jangan ditanya. Pendidikan semacam itu ia belajar dari mendiang eppa’na

Lebih dari tiga kali Muni mencoba merayu Sadu. Lebih tiga kali pula jurus itu tidak mampu merobohkan pendirian lelaki bertubuh pendek itu. Keinginan mengubah nasib hidupnya memang ada, tapi tidak dengan merantau apalagi menjual sangkolan itu. Sadu pun tahu dan sadar, Muni adalah tekong yang suka memanfaatkan tetangga bahkan saudara kandungnya sendiri. Gagalnya  saudara kandung dan sepupunnya, Moyar dan Abdur beberapa bulan lalu  ke Malaysia cukup bagi Sadu sebagai buktinya.

***

Tana-tana yang lokasinya dekat dengan tana sangkolan eppa’ embu’na sudah banyak enangkele. Tinggal tana sangkolan itu yang belum. Sudah dua hari Musa kembali ke Ragang. Sadu, Musa dan adik bungsungya tinggal di gubuk yang terbuat dari Tabing. Sadu merasa lega dengan kembalinya Musa. Suatu malam, Sadu mengajak Musa membicarakan niatnya untuk bertani tambakau. Musa tidak meresponnya sepatah kata pun. Esoknya, Sadu pergi ke pemilik toko pertanian di pasar Empres yang ada di dusun Masaran untuk meminjam uang untuk digunakan modal bertani. Ia pulang dengan hati lega dan ruwet karena uang dan beban yang dibawanya. Merasa lega karena uang untuk modal ada. Merasa ruwet karena harus mengembalikan uang itu lebih dari jumlah yang ia pinjam. Tapi ia tidak punya pilihan lagi selain meminjam uang itu. Begitulah kondisi zaman sekarang. Orang yang senasib dengan Sadu sudah banyak menjadi korban transaksi mabudu’ pesse. Berbeda lagi kalau bicara koruptor di negeri ini yang sudah tak bisa dihitung dengan jari. 

Tiba di rumah, Musa masih tidur seperti kebiasannya sediakala sebelum minggat. Ketika dibangunkan, ia marah. Bahkan, mendiang embu’na justru sering menjadi luapan amarahnya saban pagi ketika membangunkan untuk shalat subuh. Tidak sempat duduk, Sadu berangkat ke rumah Samaru, pemilik traktor untuk menyewa agar bisa anangkele tana di bukit Paleyang. 

***

Di rumah Samaru, Sadu dikagetkan dengan kabar tentang Musa. Samaru menceritakan perbuatan Musa yangia sendiri tidak mengetahuinya. Diam-diam, Musa menjual tana sangkolan itu kepada tetangga sebelah dengan mendiasi Muni semalam. “Aku hanya mendegar obrolan mereka dini hari tadi di belakang rumahmu.” Mendegar itu, Sadu bergegas pulang dengan rupa emosi. “Kenapa kau lakukan ini, Musa?” di perjalanan pulang Sadu membatin. Tiba di rumah, matanya  menyisir gubuk tabing itu. Tak ditemukan batang hidung Musa. Amarahnya semakin membara. Ia menyusul Musa ke rumah Muni. Ia masih merasa beruntung, Musa ada di sana. Namun rasa keberuntungan itu berbabding terbalik nyawanya. Mereka adu mulut yang berujung percekcokan. Musa yang dihasut Muni dengan tega mengayunkan arek ke arah Sadu. Tubuh sadu terkapar di amper Muni. Dengan ketidaksadarannya, Musa tertawa dan berteriak “Sekarang aku puas. Mulai sekarang, aku hidup bebas.” Mayat Sadu dibiarkan begitu saja. Muni pun tertawa tanpa merasa bersalah. Musa sudah menyerahkan semua uang hasil penjualan tana itu untuk biaya pemberangkatan ke Malaysia. Namun, siapa sangka, dua minggu kemudian ia baru sadar, kalau ia menjadi korban Muni selanjutnya. Nyawa Musa hilang bersama hilangnya Muni yang entah kemana. Kini, Muni menjadi buron.

Ragang, 22 Juli 2018

*Petani kata asal Pamekasan, Madura yang ingin terus belajar. Perintis program One Day One Paper di pesantren Sumber Bungur Pakong.  Email: Ibnumusawi@gmail.