Pendidikan Karakter Masih Dalam Pertanyaan
Oleh: Abd Gafur*
Miris sekali saat membaca berita di Koran Madura terkait pelajar berpasangan mesum yang digerebek di sebuah Hotel Mawar di wilayah Paiton, kabupaten Probolinggo Senin (2/11). Lebih ironisnya lagi, para pelajar yang tertangkap basah tersebut masih dalam kedaan berseragam.
            Penulis berpikir, tindakan tersebut dilakukan karena krisis pendidikan karakter sudah dirasakan. Membicarakan karakter, Simon Philips (2008) mengatakan bahwa karakter  merupakan kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan prilaku yang ditampilkan. Berbeda dangan Doni Koesoema (2007) yang mengartikan bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian yang dimaksud Doni disini adalah ciri, atau  karakteristik, atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari keluarga pada masa kecil, juga sejak lahir.
            Atas dasar pengertian  yang dikemukakan dua tokoh diatas, maka penulis mengartikan bahwa karakter merupakan ciri khas manusia yang akan terlihat oleh perilakunya. Artinya, jika seseorang berperilaku buruk hal itu menandakan orang tersebut memiliki karakter yang buruk pula. Begitupun sebaliknya, jika seseorang berperilaku baik maka dapat dikatakan bahwa karakternya baik. Bagaimana dengan karakter baik bangsa kita? Nah,  pertanyaan inilah yang perlu dijawab bersama-sama oleh kita.
Oleh sebab itu, penanaman pendidikan karakter di lemabaga pendidikan perlu dilakukan. Pertanyaannya adalah apakah pendidikan karakter sudah ditanamkan oleh pendidikan kita? Jika memang sudah ditanamkan, kenapa masih terjadi tindakan yang tak sepantasnya dilakukan, apalagi yang melukan adalah mereka yang masih dalam bernaung di bawah atap pendidikan?
            Kasus yang penulis angkat di atas hanya contoh kecil saja. Sebenarnya masih banyak kasus yang terjadi, baik kekerasan seksual, kriminal bahkan kejahatan yang dilakukan oleh para orang terdidik sekalipun tidak sedikit kita temukan. Sehingga, ketika mendengar kasus korupsi, perselingkuhan dan kejahatan lainnya kita tidak kaget lagi karena kasus tersebut sudah sering terjadi. Atas dasar inilah penulis katakan bahwa pendidikan karakter masih patut dipertanyakan.
             
            Dalam tulisan sederhana ini, penulis tidak akan menjabarkan karakter secara panjang lebar. Namun, penulis hanya ingin mengajak para pembaca untuk sama-sama mengintrospeksi diri mengenai pendidikan karakter yang sampai saat ini masih belum bisa diaplikasikan oleh bangsa kita. Dengan demikian, setidaknya ada enam pilar penting karakter manusia  yang harus ditanamkan pada bangsa kita. Pertama, Respect (Penghormatan). Rasa hormat biasanya ditunjukkan dengan sikap sopan dan juga membalas dengan kebaikan, baik berupa sikap ataupun pemberian. Sikap hormat bukanlah seperti perhormatan yang dilakukan oleh bawahan kepada majikannya, yang terkadang hanya patuh dan menjilat. Rasa hormat yang seperti ini, kata Fathul Mu’in (2011)  belum tentu rasa hormat yang mengandung makna esensial, tetapi bisa jadi berupa tindakan yang menjilat. Oleh sebab itu, perlu penulis tegaskan bahwa aturan penghormatan pada dasarnya manusia  penting untuk dihormati.
            Kedua, Responsibility (Tanggung Jawab). Sikap ini menunjukkan apakah orang itu berkarakter baik atau buruk. Sering kita temukan orang lari dari tanggung jawabnya, orang seperti itu pasti tidak disukai. Artinya, orang itu menandakan dirinya sudak menyandang predikat karakter yang buruk. Sikap bertanggung jawab menghendaki kita untuk mengenali apa yang kita lakukan. Karena bertanggung jawab pada akba yang menjadi pilihan kita.  Ketiga, Civic Duty-Citizenship (kesadaran dan sikap berwarga negara). Nilai-nilai ini merupakan nilai-nlai yang menjadi keharusan untuk diajarkan pada anak bangsa kita, sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama. Pada intinya, karakter yang diperlukan untuk membangun kesadaran berwarga negara ini adalah berbagai tindakan untuk mewujudkan terciptanya masyarakat sipil yang menghormati hak-hak individu. Hak yang mendasar adalah hak hidup.
            Keempat, Fairness (Keadilan). Keadilan bisa mengacu pada aspek kesamaan atau memberikan hak-hak orang lain secara sesama. Sikap adil merupakan kewajiban moral. Norma agama dan norma hukum memerintahkan kita untuk berbuat adil. Dalam berbuat kebijakan, yang dikatakan adil jika ia didasarkan atau mempertimbangkan semua fakta, termasuk pandangan yang menentanganya, yang harus dipertimbangkan sebelum keputusan diperbuat. Kelima, Trustworthness (Kepercayaan). Kepercayaan hilang, maka sikap individualisme, saling mengkhianati, ingkar janji, dan mengibuli  itulah yang akan terjadi. Kini, kepercayaan mahal harganya. Sebagai salah satu pilar karakter manusia, kepercayaan semakin hilang juga ikut membentuk karakter manusia. Jika kepercayaan hilang, orang akan berintraksi dengan kebohongan. Kebohongan muncul dan terbangun sedikit demi sedikit dan dipelihara, maka hal itu akan membentuk karakter.
            Keenam, Caring (Peduli). Kepedulian adalah sifat yang membuat pelakunya merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Artinya, mengerti perasaan orang lain, terkadang ditunjukkan dengan tindakan memberi atau terlibat dengan orang lain. Kata peduli ini bisa kita katakan sebagai rasa solidaritas yang tinggi. Nah, jika semua pilar karakter sudah tertanam dalam diri bangsa kita maka pelecehan seksual, pencurian, KKN tidak akan terjadi di Negara Kepulauan ini. Sebaliknya, jika semua pilar tersebut jauh dari hati nurani bangsa kita maka tak dapat dipungkiri bahwa semua kejahatan akan menjadi hiasan yang akan abadi di Negeri ini. Untuk itu, marilah kita renungkan bersama dan jadikan enam pilar yang penulis sebutkan diatas sebagai penegak bangunan kepribadian kita dan tak akan rapuh walau diterpa badai godaan menghantamnya.  
             
*Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam juga aktivis LPM Activita STAIN Pamekasan