Beberapa hari ini saya sering pulang ke - Desa Ragang, Waru, Pamekasan- rumah setelah target liputan soal lingkungan di Madura selesai. Alhamdulillah sudah beberapa tayang di media yang sangat menghargai penulisnya.
Seperti biasa, kalau sedang di rumah, saya memilih berbaur dengan tetangga. Selain ada tempat untuk sekadar ngobrol ngalor ngidul, ya setidaknya ada kesempatan menikmati kopi bersama. Gratisan pula. Wkwkw.
Di berbagai beranda atau amperan rumah tetangga atau di mana kami ngobrol, temanya tak jauh-jauh dari persoalan harga tembakau yang tak bersahabat.
"Dutao, Pur, tadâ' arghâna bhâko mon satèa ( ngak tahu, Pur, gak ada harga tembakau kalau hari ini)," sahut salah satu petani di desa saya.
"Lakona ekatalka, mon dâ'iyâ talpos rèng tanèna, (pekerjaan bikin ruwet , kalau begini, petani makin susah)," celetuk orang itu lagi.
Tahun ini, harga tembakau memang anjlok. Ini penting untuk diketahui oleh siapapun yang memiliki peran dalam hal jual beli tembakau. Petani menjerit, sebab mereka merasa pemerintah seakan tak serius memberikan solusinya.
Berbeda lagi adanya permainan harga di kalangan tengkulak rakus dan tak punya hati nurani.
Semoga petani masih diberikan kekuatan.
0 Komentar