Rabu (30/9/)  kemarin, menjadi  hari pemungkas bulan  September tahun  ini. Matahari bersinar cerah siang  itu.  Saya harus  melewati jalanan berpaving yang  diapit hutan  bambu  untuk  menuju  rumah Sitti  Jamilah  Khoiriyah. Dia merupakan perempuan Dusun  Tengger, Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan yang berkarya dengan memanfaatkan dedaunan untuk membuat  kain  ecoprint. 


"Jadi ceritanya gini.  Awalnya  sih  saya dapat  undangan dari  dinas  koperasi Pamekasan 2019 lalu di salah  satu hotel di Pamekasan.   Ada pelatihan buat  karya berbahan alami.  Tapi saya tidak hadir  karena  waktu  itu bersamaan dengan  acara  pawai  anak saya.  Saya pantau dari  postingan teman, kok kayaknya  unik. Hanya  transfer atau tempel daun  pada kain. Dan saya lihat  kok bagus  juga dan caranya kayak mudah liatnya. lalu  tanya  lewat  telepon. Tenyata itu buat  ecoprint. " cerita Syamila,  begitu  disapa.  


Dalam sharlenebohr.com dijelaskan, Ecoprint adalah teknik dimana tanaman, daun dan bunga meninggalkan bentuk, warna, dan bekasnya pada kain. Bahan tanaman yang dibundel di dalam kain dikukus atau direbus untuk melepaskan pewarna yang ditemukan secara alami di dalam tanaman, membuat cetakan kontak dalam bentuk daun atau bunga yang digunakan. Cetakan kontak ini disebut sebagai "cetakan ramah lingkungan". 


Caranya  bisa menempatkan setiap daun dengan tangan (atau, terkadang, penjepit), untuk menciptakan pola dan palet warna yang menyenangkan. Kemudian, kain, dengan bahan tanaman di dalamnya, digulung erat di sekitar pipa atau tongkat. 'Bundel' tersebut dilemparkan ke dalam kukusan atau panci berisi air. Panas melepaskan pewarna dari tanaman, mewarnai kain di sebelah daun. 


Beberapa hari  dari  pelatihan  itu,  Syamila mencoba  searching di internet soal ecoprint.  Diapun  mempelajari metode pembuatan kain  ecoprint itu secara  otodidak.  Ada kesempatan untuk bertemu  temannya yang  ikut  acara  itu,  Syamila minta  diajari.


"Teman saya bilang,  sayang gak  dapat  sertifikat kalau belajar di luar  pelatihan itu.  Saya pun  bilang,  gak papa asal  ilmunya. Akhirnya  saya belajar kepada  teman saya itu.  Dan alhamdulillah beberapa waktu kemudian, komunitas saya di Pamekasan ngundang orang  Surabaya yang tahu  soal  ecoprint.  Waktu  itu pelatihan dilaksanakan di dua tempat," katanya kepada Mongabay,( 30/9/2020) di kediamannya.


Seperti halnya batik tulis, pewarnaan kain ecoprint menggunakan bahan-bahan alami seperti kayu-kayuan, dedaunan atau biji-bijian. Satu hal yang mempengaruhi perbedaan warna yakni tanin atau senyawa yang keluar dari daun. Setiap daun itu mengeluarkan warna yang berbeda-beda dan tidak bisa sama antara satu daun dengan yang lain. 


Dia bilang,  namanya belajar, awalnya  bangga karena  bisa tahu sebagian tehnik itu .  Akan tetapi ternyata ecoprint itu banyak  ilmunya.  Bulan Oktober pada tahun  yang  sama,  Syamila dapat  undangan untuk ikut  pelatihan di Sumenep. Peserta yang ikut  mendapatkan fasilitas dari  Dinas  Koperasi Jawa Timur. "Waktu  itu,  pemateri bernama Ibu  Evi  dari  Malang.  Dua hari  di Sumenep. Banyak  yang  ikut saat  itu. Banyak  juga peserta yang dari  Pamekasan. Satu tahun berselang,  baru mencoba ilmu  itu dan alhamdulillah sudah bisa menjual," jelasnya.  


Sekilas Tentang Tahapan Pembuatan Ecoprint 


Kain yang digunakan untuk membuat ecoprint yakni katun dan sutera yang berasal dari serat alam. Proses pembuatan ecoprint dimulai dengan pre-mordanting yaitu perendaman kain selama sekitar 1 jam dengan larutan tertentu yang fungsinya untuk menghilangkan efek kimia.


“Kemudian kita rebus kain itu, didiamkan semalam. Kemudian dikeringkan. Setelah kering (kainnya), kita siap untuk menggunakan (teknik) ecoprint,” jelas Syamila. 


Setelah kain diproses, yang  dibutuhkan itu plastik untuk alas kain kemudian kain kita gelar juga. Daun yang sudah disiapkan, ditata sesuai kebutuhan. Misalnya menggunakan daun yang kecil-kecil, besar-besar, dan ditempel pada  lembar kain dengan jumlah  menyesuaikan kebutuhan atau selera saja. Setelah  ditata daunnya, alasi lagi dengan plastik. Atas-bawah, jadi kain itu ada plastiknya.


Ecoprint merupakan teknik pembuatan pola dan motif pada kain yang ramah lingkungan. Kain tersebut kemudian digulung, lalu diikat, kemudian dikukus selama kurang lebih dua jam. Setelah itu, gulungan kain yang telah dikukus tersebut dibuka dan diangin-anginkan serta tidak boleh terkena sinar matahari langsung supaya warnanya lebih kuat. Kain tersebut lalu didiamkan bebe hari bahkan  sampai satu minggu agar daunnya lebih kuat menempel di kain.


Setelah itu, baru proses akhir (yakni) fiksasi untuk mengunci pewarna alamnya tadi. Untuk fiksasi membutuhkan larutan tertentu. Bisa cuka, tawas, tunjung, sesuai kebutuhan. Masing-masing larutan itu akan menghasilkan warna sendiri. Setelah proses fiksasi, kita bilas kainnya, kita jemur lagi, diangin-anginkan lagi. Setelah kering, baru siap untuk digunakan.  Proses pembuatan ecoprint mulai dari awal hingga akhir memakan waktu sekira 7  hari.


Syamila biasa menggunakan kain dengan lebar sekitar 1,5 meter dan panjang 2 meter lebih  beberapa sentimeter. Namun  demikian, lebar kain itu sendiri sebenarnya tidak memiliki batasan tertentu. Semakin panjang kain yang dipakai, maka semakin besar alat pengukusan yang dibutuhkan.


Saat ini,  sudah dia sudah  menjual  karyanya dalam jual  bentuk  kain dan kerudung.  Penjualan karya Syamila  melalui akun  medsos miliknya. Dia bilang, kain  ecoprint karyanya  sudah  sampai  ke Kalimantan dan  Jakarta. Mereka  memesan melalui kontak di internet. 



"Pemesan  dari  lokal  ada,  tapi  gak banyak.  Mungkin  karena gak tahu juga.  Ada sih beberapa orang yang  menyepelekan kain  ini.  Katanya  terkesan  kotor karena seakan penuh getah daun. Tahu sendiri kan mas,  kain ini ditempel daun  saja. Tapi  saya tetap  optimis.  Sebab  ini  selain ramah lingkungan juga bernilai  ekonomis," ujar  Syamila.  


Selain dari  Tanah  Borneo dan Kota  Metropolitan, jelasnya, pemesan  kain ecoprint karyanya  datang dari  Sumatera. Namun  untuk  dipakai  sendiri, tidak untuk  dijual lagi.




"Saya sampai  lupa  jumlahnya yang terjual.  Mereka  pesan  lewat  internet. Yang dari  Jakarta dan Kalimantan itu bahkan  langganan. Kan saya juga buat  akun  khusus menjual kain ecoprint di IG.  Saya  juga  buat  akun di salah satu marketplace," 


Pada awalnya, Syamila mengira dalam pembuatan ecoprint ini hanya menggunakan daun  jati  dan daun lanang. Tapi  pada  akhirnya berkat  sering  ikut pelatihan dan searching di internet, dia pun  tahu  bahwa  hampir semua  daun bisa dijadikan bahan  pembuatan kain ecoprint.   Bagi  Syamila,  daun jati adalah daun yang  tidak ingkar  janji.  Menurutnya, tanpa  dikukus saja, daun jati sudah mengeluarkan warnanya. Tapi  daun  jati yang  dikukus akan mengasilkan  warna yang  lebih cerah.


Mengacu pada ilmu yang  didapat, proses pengukusan yang dilakukan memakan waktu  selama  dua jam. Sejauh ini,  Syamila melakukan pengukusan dengan  bantuan api  berbahan gas miliknya. Dengan  alat  itu,  katanya,  api  akan stabil.  Berbeda dengan  menggunakan tungku.  


"Mon  Nganghuy  Tomang,  Apoi  kan  tak  pakkun. Ben sè jellas  laen  tettinah bârnana  dekikna. (kalau  pakai  tungku,  api  tidak akan  stabil,  dan yang jelas warna akan  berbeda nantinya.), ujar istri dari  Syamsuri  itu.  


Untuk  membuka  serat  kain, karena  masih belum  punya bahan yang sesuai materi yang didapat, dia masih menggunakan detergen.  Syamila menjelaskan, ibarat jenjang SD, jenjang  kelas dalam  berkarya ecoprint itu ada enam.  Sedang dia masih   kelas  dua.  Akhir-akhir  ini dia juga  belajar dari  jarak  jauh ke temannya yang ada di Magelang, Yogyakarta. Bahkan  sering  juga ikut pelatihan berbayar lewat aplikasi Zoom. 


Dia juga  mengaku  belajar  bersama komunitas Muslim  Craft Center (MCC) di Pamekasan.  Dia bercerita, komunitasnya  pernah juga  sampai  mengundang pemateri  dari  Surabaya dan menggelar pelatihan di Pendopo  Budaya  di kantor  Wakil Bupati Pamekasan pada 2019 lalu selama  dua hari.  


"Saya kan juga anggota MCC atau muslimah Craft Center. Sampai ngundang  pemateri  dari  Surabaya selama dua hari.  waktu  itu acara  digelar  di di Pendopo Budaya Wabub. Peserta terbatas. Ada juga  yang  cowok  satu. Yang ikut saat  itu bayar," papar ibu  dari  Iffatun  Nania ini.  


Saat ini,  dia mengaku mulai memiliki minset bahwa daun di sekitar pekarangan rumahnya  yang dulunya  hanya  dijadikan pakan ternak secara  gratis ataupun dijual bahkan  nyaris dianggap tak berguna,  ternyata bisa  dimanfaatkan untuk karya ramah  lingkungan. 


"Saya bangga hidup ada di desa. Meski  secara  lokasi terpencil, tapi  bisa menikmati udara  segar dan bisa  memanfaatkan alam untuk sesuatu yang  berguna. Ya,  sisi lain  juga  dari  daun  itu saya punya  tambahan pendapatan," katanya.  


Syamila menuturkan, ternyata ada hikmah  di balik penolakan terhadap ajakan  suaminya untuk  sewa rumah  di kota  beberapa tahun  lalu.  Selain alasan bising dari  lalulalang dengan  kendaraan yang  menciptakan polusi, tinggal  di kota serasa jauh dari  sanak famili  jadi  alasan bagi guru di MA Adduriyah, Bangkes, Kadur,  Pamekasan ini untuk  tetap  tinggal  di desa. 


Dalam satu  kesempatan, Syamila bercerita, dia ditelepon orang yang tinggal  di daerah  Pamekasan juga dan menanyakan  terkait kain ecoprint karyanya.  Orang  itu kaget pada ecoprint karyanya.  Kata Syamila, orang itu bilang dan mengira kain  ecoprint hanya ada di Yogyakarta. Dalam pembicaraan melalui ponsel  itu,  orang  yang dimaksud Syamila pernah hidup  di Yogyakarta menempuh  studi  di Kota Istimewa tersebut.  

 

Syamila  menyampaikan, dia terbuka  bagi  siapapun  yang  mau belajar pembuatan kain  ecoprint  selama  ada kesempatan. Bahkan  dia sering  diundang untuk  mengisi pelatihan melalui MCC oleh  pihak  dinas koperasi dan juga  pemerintah desa  dalam  beberapa kesempatan. "Tetangga ada yang  belajar  juga ke saya, kok. Alhamdulillah ada juga  dari  desa sebelah belajar bahkan  dia bayar. Pernah juga  ikut  pameran ke Lamongan  2019 lalu. Delegasi dari  dinas  koperasi. 




"Dukungan  keluarga.  Alhamdulillah ada. Sebenarnya saya berwirausaha  dari  SD,  Mas.  Tidak hanya  untuk  ecoprint  ini, suami  utamanya selalu memberi support  dalam perjalanan saya sejauh  ini.  Bahkan  untuk yang  ecoprint  ini suami  terlibat  dalam prosesnya pembuatannya. Khususnya di proses penggulungan  dan pengukusan," jelasnya.  


Selama ini,  Syamila menghasilkan  10-20 lembar  kain dalam sekali  produksi. Proses  dari awal  sampai menjual  dalam bentuk yang  sudah  dipacking  memakan  waktu  satu minggu. Selain menggunakan dedaunan untuk  menciptakan warna pada kain,  Syamila  juga  menggunakan kayu  secang.  Kayu  yang  biasa  digunakan untuk bahan pewarna  alami dalam pembuatan kain  batik  pada umumnya. 


Kata Syamila, ecoprint ini bukan  batik.  Karena dua karya  itu punya nama nama dan ciri  tersendiri. Beberapa ciri yang membedakan ecoprint  dari batik  adalah  prosesnya  yang daun ditempel  untuk  menghasilkan motif lalu  digulung dan pengukusan agar  warna  melekat. Berbeda  pewarnaan pada batik  umumnya dilakukan dengan  cara  memakai canting. Itu untuk  batik  tulis.  Sedang  untuk  batik  ada juga yang  menggunakan metode  stempel dengan  cetakan. 


Berprofesi sebagai  guru, Syamila selain mengajar mata  pelajaran yang  diberikan pihak  sekolah, dia pernah  mengajarkan pembuatan kain  ecoprint ini kepada  siswanya dengan  meminta waktu lain  agar  tidak mengganggu jam pelajaran. Tapi dia menyayangkan,   ilmu  yang  diberikan Syamila tidak dipraktikkan oleh  siswa.  


"Ya,  siswa  hanya  belajar  saat itu saja.  Saya lihat  tidak ada yang  praktik  di rumahnya.  Padahal ini bisa dimanfaatkan. Syukur  misal  ada yang  sampai  menerima orderan," katanya. 


Padahal bahan  juga mudah didapat  dan tinggal  beli di pasaran atau  toko  kain.  Kata Syamila,  kain yang  hendak  dibeli untuk  dibuat kain ecoprint, rerata  berukuran dua meter.  Tetapi  kadang juga harus dilebihkan beberapa sentimeter saja pad setiap  kain. Hal tersebut  bertujuan untuk mengantisipasi penyusutan pada kain.  Biasanya,  jelasnya, kain yang  hendak dijemur setelah  melalui proses penggulungan dan pengukusan akan mengalami  penyusutan.  Untuk  daun seperti  daun jati, lanang,  dan daun  lainnya  bisa mengambil  di sekitar pekarangan rumahnya  masing-masing.  


"Apalagi  di desa,  pasti banyak daun. Kan banyak  pohon yang  tumbuh. Saya saja tanam  pohon lanang  dan jenis pohon  lainnya  yang  bisa  digunakan untuk  pewarnaan. Itu di belakang  rumah ada.  Nanti  mas bisa lihat-lihat ya." ujarnya. 


Kain ecoprint yang digunakan Syamila untuk karyanya beragam.  Sejauh  ini sudah  membuat kain  ecoprint berbahan mulai  dari kain katun sampai  kain sutra. Dalam pemesanan pun,  dia menuruti permintaan pemesan yakni bisa tentukan kainnya.  Tetapi  beda  kain, motif,  dan proses pengerjaan, tentu  beda juga harganya. 


"Yang  saya jual  sejauh ini ya,  harga  paling  tinggi  800 ribu rupiah satu kain.  Harga  terendah  150 ribu rupiah.  Tergantung kain  dan motif  juga  pengerjaan.   Terkait omset, ya alhamdulillah lumayan. Setidaknya bisa membantu  perekonomian keluarga. Gini  mas,  menjual barang  hasil  kulakan  dan hasil  karya  sendiri itu membuat  kesan yang  berbeda. Lebih  terkesan  jual  barang  hasil  karya sendiri.  Bisa dikatakan,  lebih  puas lah," terangnya.  


Syamila mengaku branding karyanya  belum  maksimal. Sejauh ini sebatas membangun branding  melalui medsos  saja.  Itu pun karyanya  yang  diposting  kebanyakan sudah  berbentuk krudung.  Karena  kalau  kain  untuk  baju  lekas  laku.  Jadi  tidak  bertahan lama di galeri  karyanya yang  ada di rumahnya. 


Selain  mengenalkan karyanya lewat platform di internet, dia juga  sering  memakai  krudung  ecoprint dalam beberapa kesempatan.  Seperti  menghadiri  acara pelatihan, kondangan,  dan acara  silaturrahmi ke sana familinya. 


"Saya harap  ecoprint ini bisa jadi  salah  satu karya yang  nantinya  juga  jadi icon  Pamekasan,  ya meski pengrajin karya  ini  tidak hanya di Pamekasan.  Sama seperti  batik.  Batik  kan tidak hanya  di Pamekasan. Beberapa daerah  di Indonesia punya  karya batik dan menjadi  ciri khasnya.  Nah,  lihat  saja, batik Pamekasan juga diperhitungkan di pasar  batik  nasional. Bahkan  Pamekasan punya  pasar  batik  yang  cukup  besar, " ungkapnya dan mengajak  Swafoto  di galeri ecoprint  dan lahan  yang  dijadikan tempat menanam  tetumbuhan yang daunnya  digunakan untuk ecoprint di belakang rumahnya. 


Nurul  Farid, pemuda  Dusun Tengger, Desa Polagan, Kec. Galis, Kab Pamekasan mengatakan,  kain ecoprint karya  Syamila cukup  bagus  dan indah dipandang. 


"Kelihatan sejuk bagus pokoknya. Warnanya bagus tidak seperti batik  lainnya, alami banget.  Ya mungkin karena  model daun macam-macam," katanya, Kamis (1/10/2020). 


Dari  sisi lingkungan, kata Farid,  justru karya  Syamila tidak  ada masalah. Tidak  menyebabkan pencemaran maupun merusak  lingkungan.  Farid  menuturkan,  melihat  kreatifitas yang dilakukan Syamila membuatnya sadar  bahwa   daun-daun yang bisanya bikin makan kambing dan hewan ternak  lain  di kampungnya, juga bisa dibuat  karya  luar  biasa tanpa  mengganggu lingkungan. 


Mengutip bobo.grid.id, penggunaan bahan alami ini membuat ecoprint bersifat ramah lingkungan, artinya tidak memunculkan pencemaran baik di air maupun udara.



Farid  berharap, karya  ecoprint seperti yang  dihasilkan Syamila semakin digemari oleh masyarakat,  khususnya masyarakan kelas menengah ke atas maupun kebawah. 


"Dengan  demikian, masyarakat tidak tergantung  atau pakai produk-produk dari luar daerah  saja atau buatan luar negeri.  Apalagi karya  ecoprint kayak  punya  Mbak  Syamila  ini  unik  dan alami. Insyallah gak kalah saing," beber pemuda yang  juga  pernah belajar  tehnik  ecoprint kepada  Syamila beberapa waktu lalu. 


Disebutkan oleh Flint (2008), teknik ecoprint diartikan sebagai suatu proses untuk mentransfer warna dan bentuk ke kain melalui kontak langsung. Flint mengaplikasikan teknik ini dengan cara menempelkan tanaman yang memiliki pigmen warna kepada kain yang kemudian direbus di dalam kuali besar. Tanaman yang digunakan pun merupakan tanaman yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap panas, karena hal tersebut merupakan faktor penting dalam mengekstraksi pigmen warna. Dikutip  dari karya Flint, II. 2008. Second Skin. Millers Point. Murdoch Books.




Keterangan  Foto: Semua foto dokumen Gafur Abdullah