Sarjana : “Pak, tolong carikan pekerjaan. Saya malu jadi sarjana tapi tidak kerja di kantoran.”

Dosen : “Ya, Dik. Saya do’akan semoga kamu cepat dapat pekerjaan.”

Sarjana: “Saya tidak butuh do’a, Pak. Yang saya butuhkan pekerjaan.”

Dosen: “Ya, saya akan do’akan dan bantu usahakan.”

Apa yang ada dipikiran kamu setelah baca obrolan di atas? Lucu, miris dan sangat menyayangkan? Penulis sih merasa lucu dan miris saja. Hmmm.

Obrolan diatas saya ambil dari petikan cerita dosen saya, Dr. Atiqullah. Begini cerita ringkasnya. Suatu saat beliau ditelepon mantan mahasiwanya yang sudah sarjana. Sebut saja Parto. Kata beliau, Parto kebelet ingin kerja karena malu pada orangtua dan tetangganya. Ia malu karena sudah sarjana tapi belum bekerja di kantoran.

Setragis itu kah nasib sarjana yang tak mendapat perkerjaan? Apakah sesempit itu pemikiran seorang sarjana? Hai, Parto, coba kuliah lagi. Baca buku, bersosial dan bangunlah relasi sebanyak mungkin. Duh, sarjana masa sempit gitu cara berpikirnya.

Banyak orang beranggapan bahwa sarjana itu bekerja di kantor. Berangkat pagi, bersepatu, pakaian dinas, berdasi, dan lainnya. Itu untuk sarjanawan. Beda lagi dengan sarjanawti. Hehe. Bagi sarjana perempuan, pakaian tak kalah nicis. Bagi yang pendidikan mengajar atau jadi guru. Sedang yang lulusan ekonomi bekerja di Bank. Begitupun dengan lulusan lainnya. Anggapan itu bisa benar bisa juga salah.

Jleb. Mari, baca kisah inspiratif dari seorang sarjana yang tidak kerja dikantor tapi sukses jadi pengrajin Odheng-khusus odheng bangsawan- Madura. Namanya Ghafir.

Lulusan IAIN Madura ini merupakan sarjana Al-Ahwal As-Syakhsiyah (S.H). Pria ini membuktikan bahwa pengangguran bukan karena tidak kerja di kantoran, sekolahan dan dinas-dinas. Melainkan mereka yang malas, itulah pengangguran.

Ghafir tinggal di Desa Pademawu Barat, dusun Karang Dalem. Ia mengaku dengan merendah diri hari ini tetap pengangguran. Bagi penulis, ia memang pengangguran, tapi pengangguran terakreditasi. Dikatakan menganggur karena tidak keluar rumah pagi-pagi layakanya mereka yang ngedinas. Ya, tetap saja nganggur, kan? Hmmm. Sabar dulu. Orang seperti Ghafir ini pengangguran Terakreditasi, lho. Masa orang nggaggur pake terakreditasi segala? Ada-ada aja. Bahhaa.

Maksud terakreditasi itu adalah nganggur sih nganggur, tapi tetap produktif. Buktinya Ghafir bisa meraih omset yang lumayan besar dari kerajinan Odhengnya. “Alhamdulillah, pendapatan cukup lumayan buat tabungan masa depan,” katanya santai saat dijumpai di kediamannya.

Awalnya, dia bermodal 200 ribu. Uang itu untuk membeli perlengkapan pembuatan odhengnya. Mulai dari kain batik, lem dan bahan lainya. Lho, katanya pake koran? Amboy, koranya itu untuk bagian dalamnya saja. Jaid, batiknya itu dibuat mempercantik saja. Menurut pengakuannya, ide pembuatan odheng itu ia dapat dari temannya. Pertama ia membuat blangkon ala Jogja. Dirasa kurang peminat, lalu pindah ke odheng bangsawan. Produktifitasnya sudah berjalan kisaran dua tahun. Terhitung sejak 2016 sampai 2018.

Pemasarannya diawali dengan meniptikan di toko-toko baju milik temannya. Selian itu, ia juga memanfaatkan sosial media. Nah, dari sosial media itulah banyak orang yang melakukan pemesanan. Waktu terus berjalan, akhirnya odheng hasil kreatifitasnya dipesan oleh anggota DPR, Pegawai pemerintah kabupaten, bahkan dosen-dosennya di IAIN Madura.

Nah, kalau kamu lihat Bupati, Pegawai Pemkab dan DPR Pamekasan memakai odheng bangsawan ketika mengahadiri acara, sebagian besar itu pesan di LenPello, branding usaha odheng milik alumni ponpes Bata-Bata itu.

“Ya, dari kemarin-kemarinnya sampai orang-orang penting di pemkab rata-rata pesan ke saya. Bahkan beberapa waktu lalu ada yang pesan 100 odheng. Sejumlah 100 itu kami selesaikan 10 hari,” tutur Ghafir.

Dalam proses pembutannya, ia dibantu adik kandungannya. Itu pun bagian pengeleman saja. Proses lainya ia lakukan sendiri. Untuk harga, tergantung kain batiknya. Kalau batik tulis, akan lebih mahal. Untuk bisa memilki odheng itu, kamu cukup memberinya uang sebesar 80 ribu rupiah.

Karena produk odhengnya cukup bagus, tak jarang anggota DPR Pamekasan datang ke kediamannya. Seperti Pak Ismail, ketua Komisi I DPRD Pamekasan. Uniknya, bahan odhengnya ia memanfaatkan koran bekas khusus di bagain dalam. Mungkin, kebanyakan orang koran bekas hanya sampah tak berharga. Tapi tidak bagi Ghofir. “Sampahku akan ku sulap menjadi emas permata. Semoga lancar.” Tulis Choice di status Facebooknya di awal merintis usahanya.

Riwayat usaha Ghafir diatas, setidaknya membuka cakrawala berpikir pembaca. Wabil khusus yang merasa nganggur dan tidak produktif. Yang selama ini merasa nganggur tidak produktif, mulai hari ini, segeralah berubah. Mulai berbisnis jadi entrepreneur, dan lainnya. Tentu, lakukan apa yang bisa kamu lakukan dan fokus. Bisa buat kue, silakan usaha kue. Bisa nulis, silakan jadi penulis. Bisa desain di komputer, silakan buka jasa desain pamflet, banner dan semacamnya. Jadi, jangan sampai pola pikir kita terjepit dari kalimat “Sarjana itu kerjanya di kantor”. Semoga bermanfaat. Intinya, lakukan apa yang kamu bisa.

Eh, biar kamu bisa pakai odheng bangsawan Madura milik Ghafir, silakan datang langsung ke rumhnaya di Pademawu Barat (dari balai desa ada jalan berpaving ke timur.) Agar tidak bingung, tanya saja Musholla Daleman atau hubungi 0823-3600-7326. Nomor itu adalah kontak person dari Direktur LEN PELLO, Mas Ghafir Assegaf. Hehe. (Gfr-22 Oktober 2018)